Kamis, 03 Februari 2011

Pasola Sumba

Sumba, sebuah pulau yang nyaris tak masuk dalam pembicaraan bila bukan karena kudanya. Atau kayu Cendana, bila teringat ilmu bumi di sekolah. Atau kain ikatnya, bila masuk toko cinderamata namun bagi yang tertarik urusan budaya, pulau ini mengandung misteri etnis yang masih sangat kental melekat.
Dekorasi eksterior yang menunjukkan ciri-ciri tradisi. Sementara interior mengungkapkan ekspresi iman dan pesona artis, di antara tiang kayu primitif sederhana
Mungkin ia terisolir karena lokasi geografis yang nyempa/dari rute NTT. Namun belakangan ia mulai makin mencuat karena ritualnya yang unik, perang perangan ksatria berkuda. Dunia boleh kagum kepada para Indian yang trampil berperang di atas kuda. Itu karena mereka masih bertetangga ke Hollywood. Tapi Sumba pun punya keunikan dengan ketrampilan berkuda tanpa pelana. Postur kuda yang kecil tapi lincah membuat Pasola menjadi sebuah spektakel yang menarik untuk fotografi. Hasil bidikan satu hari di padang Wanokaka ini terlalu minim untuk menjelaskan getaran keperkasaan yang tampil.
Pasola, bukan saja suatu peragaan kejantanan lelaki Sumba Barat, tapi lebih merupakan puncak festival nyale yang terjadi setahun sekali. Terjadi sekitar seminggu setelah purnama yaitu pada minggu kedua atau ketiga. Bulan Pebruari di Lamboya dan Kodi. Lalu pada bulan Maret di Gaura dan Wanokaka. Upacara adat terpenting yang melibatkan semua penduduk ini semua terjalin erat dengan adat dan  ' kepercayaan asli, Marapu. Semuanya diawali dari sebuah legenda. Konon Raja Bulan memiliki anak gadis yang cantiknya teramat sangat, Putri Nyale. Karena ibanya pada penderitaan umat manusia ia mengorbankan dirinya dengan
mencebur ke laut. Setelah itu panen pun menjadi berhasil. Sang Putri berubah menjadi cacing-cacing kecil yang mengunjungi penduduk di daratan sekali setiap tahun. Jumlah dari cacing-cacing ini dipercaya menentukan penghasilan panenan penduduk tahun itu. Biologi menjelaskan keanehan kunjungan tahunan ini demikian. Sebetulnya cacing laut bersegmen (Eunice viridis) ini memang hidup di perairan itu sepanjang waktu. Karena hidup nokturnal, keluar malam hari, kehadirannya tidak disadari. Setahun sekali siklus bulan telah memicu sebuah proses reproduksi yang aneh. Cacing-cacing itu menanggalkan bagian ekor mereka Bagian yang terisi dengan sperma dan sel telur itu menggeliat berenang ke permukaan laut. Penduduk beramai-ramai menangkap ekor cacing ini untuk dimakan karena lezat rasanya. Kejadiannya yang persis terjadi di awal musim tanam telah menciptakan legenda dan upacara itu.
Sambil menunggu keluarnya cacing-cacing di keremangan alam,
para Rato merokok dan makan sirih.
 

 

Pasola adalah bagian tak terpisahkan dari Marapu, kepercayaan penduduk pada arwah leluhur. Pertandingan berkuda ini adalah sebuah pertempuran antar kabisu: sebuah keluarga besar yang berasal dari sebuah uma yang beratap kerucut tinggi. Uma bukan hanya sebuah rumah, tapi merupakan keturunan patrilineal langsung dari leluhur yang membangun uma tersebut. Beberapa rumah mem-bentuk sebuah dusun tradisional, yang biasanya dibangun pada dataran tinggi. Dan umumnya deretan makam leluhur menyatu dalam kawasan dusun itu. Rangkaian Pasola dimulai dengan upacara pembajakan sebuah bendang padi keramat. Seperti upacara kuno lainnya, ini pun tak lepas dari darah. Satu malam sebelum nyale diramalkan akan muncul di laut, pemuda pemudi rgerkumpul di pantai tertentu. Pada tengah malam, ketika bulan merambat naik, para prianya mulai saling bertinju. Kepalan tangan mereka dibungkus dengan daun semak liar yang berduri. Darah harus mengalir, sebagai persembahan terbaik untuk para roh. Para wanita bersorak menyemangati kekasih mereka. Target utama adalah mata, karena cedera yang membuta-kan, mempercepat kemenangan.
Aspek fertlilitas dari upacara juga menguat malam itu. Mungkin terilhami dari fase reproduktif nyale. Setelah acara, para pemenang dan pemujanya akan menghilang ke sudut sepi dan gelapdi dekat lokasi....
Keesokan harinya upacara beralih ke Sodan, desa qjipnana kebanyakan rato nyale tinggal. Tempat ini pekat dengan mistik. Ada jalur setapak yang tabu untuk dilalui. Ada hantu anjing yang membuat gila korban yang digigitnya. Pada senja harinya, rato-rato yang berikat kain merah berbentuk segitiga mengelilingi wajahnya
menabuh gendang dan menari. Gendang yang paling langka kulitnya terbuat dari kulit manusia, tapi sayangnya musnah terbakar baru-baru ini.
Menjelang merekahnya fajar, rato-rato menuju ke pantai sejauh 5 km. Dua rato akan berjalan masuk ke laut. Dengan cermat mereka mengintip ke dalam air. Dengan trampil mereka meraih ke dalam air untuk mengangkat cacing-cacing nyale yang berwarna-warni. 

Mencari Nyale (cacing Eunice viridis) yang diikuti pula oleh para Rato. 
Semakin banyak cacing yang didapat menandakan panen akan berhasil



Seiring naiknya surya, kedua rafo tadi mengawali pertempuran di dekat pantai itu. Namun dengan tanah berpasir kuda pun kesulitan, dan para satria berkuda itu kurang bebas berlaga. Mereka pun berpindah ke padang Pasola yang sakral. Lalu kedua kabisu pun berhadapan.
Masing-masing kelompok beranggotakan 75-150 orang pada setiap sisi. Kemudian sendirian atau bersama mereka bergantian merangsek maju. Tombak-tombak pun beterbangan. Setelah melempar lembingnya, seorang pendekar segera berbelok kembali sambil menghindari hujan tombak yang menghadangnya. Seorang pengendara selalu membawa 3-4 tombak, untuk segera mengulang serbuannya. Pembantu-pembantu akan mengambilkan tombak-tombak itu untuk kokangan senjata berikutnya.
Pertama kali melihatnya akan terbit perasaan, mereka hanya ngawurasa\ melempar. Itulah mereka yang belum piawai berlaga. Tapi dengan makin gerahnya udara, akan tersaring para pendekar yang gagah berani. Lembing makin sering mengenai sasaran. Dan sekalipun ujungnyatumpul, tak pelak benjol-benjol pada tubuh kuda yang terkenatakterhindarkan. Pada hunjaman yang telak, cedera serius pun mengharuskan korban tergusur keluar arena. Sorak penonton yang haus hiburan makin memanaskan suasana. Para pendekar makin lupa diri.
Sehingga di tengah kucur deras peluh di tubuh mereka dan kudanya, mereka terus mencoba mengenai lawan.
Dengan tombak berujung tumpul kini tak perlu jatuh korban. Menghindarkan balas dendam dan baku hantam yang tak berkesudahan. Namun pada jamannya lembing haruslah setajam belati. Dan pamer kedigjayaan ini harus tergelar sampai ada yang tertembus mati.
Matahari makin merendah. Jumlah pasukan berkuda makin surut. Penduduk mulai beringsut pulang. Berceloteh membicarakan serangan dramatis hari itu. Pasola telah lewat. Diyakini mereka yang mati dan yang terluka telah menebus dosanya pada para arwahnya pengawal dusun. Dengan demikian Pasola telah mengawali tahun baru Marapu. Membersihkan sisa sisa dosa manusia terhadap para arwah. Sehingga panen akan lebih berhasil dan kesejahteraan akan lebih terjamin.
Sampai tiba saatnya Sang Putri mengunjungi mereka lagi. Di kecerahan purnama yang penuh romantika....



Bila terjadi kesalahan dalam pelaksanaan, harus ada tumbal yang dikorbankan sebelum Pasola, 
anak kerbau pun digorok demi kesejahteraan dan kepuasan arwah Marapu

Menjelang siang, bersama para Rate peserta Pasola mulai berkumpul di medan laga.
 


Naskah dan foto : Paul I. Zacharia
sumber : Majalah FotoMedia Februari 1996

Tidak ada komentar:

Posting Komentar